Petaka di Balik Amarah
Marah merupakan suatu bentuk ujian kesabaran dengan level tertinggi bagi sebagian besar manusia. Terlebih ketika dihadapkan pada sikap manusia yang mungkin mengganggu, mencela, merugikan, bahkan menyakitinya.
Oleh karenanya, dalam banyak riwayat, terminologi sabar terhadap manusia identik dengan kata atau istilah “مصابرة” atau musabarah. Kata yang dalam istilah ilmu sharaf ber-wazan مفاعلة, memiliki makna kesabaran yang ekstra yang mencerminkan kesabaran luar biasa dalam menghadapi cobaan dan ujian dalam menghadapi sikap dan perilaku manusia.
Maka, tak jarang kita menyaksikan orang-orang yang gagal mengendalikan emosinya kemudian berpikiran dangkal sehingga mengambil keputusan yang tidak tepat saat marah. Mereka meluapkan kemarahan dengan berkata kasar, melukai, bahkan menghilangkan nyawa orang lain demi melampiaskan amarahnya.
Lihatlah, bagaimana beberapa waktu ini kita mendengar berita seorang ayah dengan tega membanting anaknya hingga meninggal dunia, seorang anak yang tega membunuh orang tuanya, dan berbagai tindakan kriminal lainnya yang dipastikan akan disesali oleh pelaku yang tidak mampu mengendalikan amarahnya tersebut. Na’udzubillah.
Ketika kita coba menelisik lebih dalam tentang dampak dari amarah yang diluapkan ini, kita menyadari bahwa dampak negatif yang ditimbulkannya tidak hanya pada diri sendiri, tetapi juga pada orang banyak dan lingkungannya. Amarah dapat menjadi sumber konflik yang merugikan, merusak kerukunan, dan dapat merusak hubungan antar manusia.
Sungguh, kesabaran yang ekstra menjadi kunci untuk menghadapi manusia dengan bijaksana. Karena tidak ada amarah yang dapat menjadi solusi dari permasalahan apa pun di dunia ini. Namun, yang ada hanya kerugian demi kerugian. Oleh karenanya, agar kita mampu untuk melatih diri menjadi pribadi yang lebih sabar, khususnya dalam menghadapi perilaku manusia, alangkah baiknya apabila kita memahami bagaimana petaka di balik amarah yang diluapkan. Dengan kata lain, penting bagi kita untuk mengobati penyakit amarah yang kini populer dengan istilah “kesabaran setipis kulit bawang” ini.
Kerugian terbesar bagi pemarah
Ada sebuah ungkapan menyesatkan, namun justru dijadikan quote pendorong seseorang dengan tanpa pikir panjang meluapkan amarah yang semestinya dapat ditahan, yaitu
“Marah harus diluapkan, jangan ditahan-tahan.”
Ungkapan ini seringkali dianggap sebagai pandangan umum yang mendorong orang untuk secara langsung mengungkapkan kemarahan mereka tanpa batasan. Namun, pandangan ini sungguh menyesatkan dan tidak sesuai dengan ajaran Islam yang penuh hikmah.
Allah Ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah: 153)
Ayat mulia ini mengajarkan kita bahwa orang-orang yang sabar akan mendapatkan tempat khusus di sisi Allah. Karena “ma’iah” (kebersamaan) Allah Ta’ala adalah karunia bagi orang yang sabar. Artinya, orang-orang yang tidak mampu sabar dalam menahan amarahnya, bukankah mereka tidak menginginkan kebersamaan dengan Allah Ta’ala?
Saudaraku, inilah kerugian besar bagi seseorang yang tidak mampu menahan amarahnya. Lebih lanjut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Abu Ad-Darda’ ketika ia meminta petunjuk amalan yang dapat memasukkannya ke dalam surga,
لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ
“Janganlah engkau marah, maka bagimu surga.” (HR. Thabrani dalam Al-Kabir. Lihat Shahih At-Targhib wa At-Tarhib. Hadis ini sahih lighairihi.)
Dari hadis ini, kita dapat mengambil hikmah bahwa bukankah orang-orang yang tidak mampu menahan amarahnya kemudian dianggap sebagai orang yang tidak menginginkan surga? Sekali lagi, inilah kerugian yang paling besar bagi seorang hamba.
Oleh karena itu, seharusnya kita tidak terjebak dalam konsep berpikir bahwa meluapkan amarah adalah bagian dari solusi dari masalah yang dihadapi. Sebaliknya, kita dianjurkan untuk mampu menahan amarah, meskipun hal itu sangat sulit untuk dilakukan. Oleh karenanya, benarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menggambarkan arti dari muslim yang kuat dalam sabdanya,
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian), akan tetapi orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR Al-Bukhari no. 5763 dan Muslim no. 2609)
Marah menyiksa diri
Jika kita memahami lebih dalam dampak dari meluapkan amarah, kita akan menyadari bahwa amarah bukan hanya masalah emosional semata. Tetapi, juga dapat menjadi beban berat yang merugikan kesehatan fisik dan mental. Kita yang akan selalu tersiksa dengan amarah yang dipelihara.
Orang yang menganggap bahwa dengan meluapkan amarah adalah cara agar menenangkan jiwa tidak ubahnya seperti orang yang menggunakan narkoba dengan tujuan mencari ketenangan. Kenapa demikian?
Perhatikanlah bahwa betapa candunya seseorang yang pemarah. Sekali ia terbiasa meluapkan amarahnya dengan mengikuti hawa nafsunya, seperti memecahkan benda-benda di sekitarnya, memukul, berteriak dengan nada tinggi, dan berbagai sikap yang tunduk dengan godaan emosional, maka seterusnya akan melakukannya tanpa berpikir panjang. Ini adalah kezaliman terhadap diri sendiri dan orang lain. Wal’iyadzu billah.
Kembali pada contoh dari fenomena zaman ini, di mana orang-orang yang tidak mampu menahan amarahnya dapat berbuat hal-hal yang sangat keji dan zalim. Lantas, apa yang kemudian mereka rasakan setelah meluapkan amarahnya? Tiada lain, yaitu penyesalan terbesar dalam kehidupannya. Ingatlah perkataan sebagian salaf dalam kalimat ini,
الغضب أوله جنون وآخره ندم
“Kemarahan itu awalnya adalah kegilaan dan kesudahannya adalah penyesalan.”
Orang-orang yang meluapkan amarah dan tidak sabar dengan segala ujian kesabaran yang menimpanya tersebut, telah berbuat kebinasaan dengan tangan-tangan mereka sendiri. Bagaimana bisa seorang ayah tega menghilangkan nyawa anaknya? Seorang anak tega menghabisi nyawa orang tuanya?
Padahal, Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk berbuat baik. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ
“Janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuatbaiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)
Baca juga: Marah yang Dianjurkan
Buah kesabaran
Kesabaran adalah istilah yang sangat mudah untuk diucapkan, namun membutuhkan upaya yang ekstra untuk melaksanakannya. Karena memang janji Allah Ta’ala bagi orang-orang yang sabar sangatlah agung. Karena telah menjadi sunatullah bahwa orang-orang yang mengerjakan amalan saleh selama di dunia dengan ikhlas mengharapkan rida Allah Ta’ala akan mendapatkan ganjaran yang berlipat ganda. Termasuk di antaranya adalah perbuatan mulia, yaitu sabar tatkala amarah.
Kemuliaan pada hari kiamat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ مَا شَاءَ
“Barangsiapa menahan amarahnya padahal dia mampu untuk melampiaskannya, maka Allah ‘Azza Wajalla akan memanggilnya (membanggakannya) pada hari kiamat di hadapan semua manusia sampai (kemudian) Allah membiarkannya memilih bidadari yang ia kehendaki.” (HR Abu Dawud no. 4777, At-Tirmidzi no. 2021, Ibnu Majah no. 4186, dan Ahmad, 3:440. Dinyatakan hasan oleh Imam At-Tirmidzi dan Syekh Al-Albani)
Surga
Abu Ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkan ke dalam surga.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda,
لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ
“Janganlah engkau marah, maka bagimu surga.” (HR. Thabrani dalam Al-Kabir. Lihat Shahih At-Targhib wa At-Tarhib. Hadis ini sahih lighairihi.)
Pahala tanpa batas
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ ۗ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Rabbmu. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)
Keberkahan, rahmat, dan petunjuk dari Allah Ta’ala
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
“Dan sungguh Kami akan berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.(Yaitu), orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.’ Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 155-157)
Melatih diri untuk senantiasa bersabar
Saudaraku, telah kita pahami bersama kerugian terbesar bagi orang-orang yang tidak mampu menahan amarah. Kita pun telah mengerti bahwa sejatinya mereka yang tidak melatih diri untuk bersabar kemudian terbiasa meluapkan amarah, diri mereka tersiksa atas perbuatan mereka sendiri, bahkan berdampak buruk terhadap orang lain khususnya orang-orang yang berada di sekitarnya.
Kita pun telah memahami bahwa betapa Allah Ta’ala memuliakan orang-orang yang bersabar baik dalam kehidupannya di dunia maupun di akhirat. Maka, sepantasnya bagi kita untuk senantiasa melatih diri untuk bersabar. Dengan izin Allah, beberapa tips berikut dapat menjadi panduan praktis melatih diri agar mampu menahan amarah, insyaAllah:
Pertama: Berdoa memohon kepada Allah untuk diberikan kesabaran setiap waktu. Lakukan zikir pagi dan petang secara konsisten. Di antara doa zikir pagi dan petang adalah:
يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ أَبَدًا
“Wahai Rabb Yang Mahahidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri (tidak butuh segala sesuatu), dengan rahmat-Mu, aku minta pertolongan. Perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku sekali pun sekejap mata (tanpa mendapat pertolongan dari-Mu).”
Kedua: Mulailah praktikkan kesabaran kita untuk menahan amarah kepada orang-orang terdekat, seperti: orang tua, suami/istri, anak, kerabat, rekan, sahabat, dan mereka yang berada di sekeliling kita.
Ketiga: Senantiasa mengingat Allah Ta’ala dengan membasahi bibir dengan zikrullah agar selalu merasa bahwa segala tindakan dan perbuatan kita berada dalam pengawasan Allah Ta’ala.
Keempat: Saat kesabaran diuji, kedepankan praktik-praktik menahan amarah sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mulai dari berpindah posisi, berwudu, istigfar, hingga melaksanakan salat sunah.
Kelima: Serahkan semua urusan kepada Allah Ta’ala. Bertawakkallah dan sadarilah bahwa kita adalah manusia yang lemah. Hanya dengan rahmat Allah Ta’ala kita mampu menjadi kuat menahan emosi dan amarah.
Keenam: Semampu mungkin, menjauhlah dari segala potensi-potensi yang dapat menimbulkan amarah.
Ketujuh: Ingatlah bahwa “Tiada kerugian bagi orang yang sabar.” Justru keberuntunganlah yang akan diperoleh.
Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kepada kita hikmah, petunjuk, dan pertolongan-Nya untuk menjadi bagian dari hamba-hamba-Nya yang sabar, khususnya dalam bermuamalah dengan sesama manusia.
Baca juga: Menggapai Pahala dalam Amarah
***
Penulis: Fauzan Hidayat
Artikel asli: https://muslim.or.id/90953-petaka-di-balik-amarah.html